pancasila

I. LATAR BELAKANG PANCASILA
Pancasila merupakan dasar filosofi negara Indonesia. Kata Pancasila terdiri dari dua kata dari bahasa Sansekerta: pañca berarti lima dan śīla berarti prinsip atau asas.
Sejak berakhirnya perang dingin yang kental diwarnai persaingan ideologi antara blok Barat yang memromosikan liberalisme-kapitalisme dan blok Timur yang mempromosikan komunisme-sosialisme, tata pergaulan dunia mengalami perubahan-perubahan yang mendasar. Beberapa kalangan mengatakan bahwa setelah berakhirnya perang dingin yang ditandai dengan bubarnya negara Uni Soviet dan runtuhnya tembok Berlin-di akhir dekade 1980-an- dunia ini mengakhiri periode bipolar dan memasuki periode multipolar.
Periode multipolar yang dimulai awal 1990-an yang kita alami selama sekitar satu dekade, juga pada akhirnya disinyalir banyak pihak terutama para pengamat politik internasional, telah berakhir setelah Amerika Serikat di bawah pemerintahan Presiden George Bush memromosikan doktrin unilateralisme dalam menangani masalah internasional sebagai wujud dari konsepsi dunia unipolar yang ada di bawah pengaruhnya.
Dapat disimpulkan bahwa era persaingan ideologis dalam dimensi global telah berakhir. Saat ini kita belum dapat membayangkan bahwa dalam waktu dekat akan muncul kembali persaingan ideologis yang keras yang meliputi seluruh wilayah dunia ini. Dunia sekarang ini cenderung masuk kembali ke arah persaingan antarbangsa dan negara, yang dimensi utamanya terletak pada bidang ekonomi karena setiap negara sedang berjuang untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi warga bangsanya. Dalam era yang seperti ini, kedudukan ideologi nasional suatu negara akan berperan dalam mengembangkan kemampuan bersaing negara yang bersangkutan dengan negara lainnya.
Pancasila sebagai ideologi memiliki karakter utama sebagai ideologi nasional. Ia adalah cara pandang dan metode bagi seluruh bangsa Indonesia untuk mencapai cita-citanya, yaitu masyarakat yang adil dan makmur. Pancasila adalah ideologi kebangsaan karena ia digali dan dirumuskan untuk kepentingan membangun negara bangsa Indonesia. Pancasila yang memberi pedoman dan pegangan bagi tercapainya persatuan dan kesatuan di kalangan warga bangsa dan membangun pertalian batin antara warga negara dengan tanah airnya.

Pancasila juga merupakan wujud dari konsensus nasional karena negara bangsa Indonesia ini adalah sebuah desain negara moderen yang disepakati oleh para pendiri negara Republik Indonesia dengan berdasarkan Pancasila. Dengan ideologi nasional yang mantap seluruh dinamika sosial, budaya, dan politik dapat diarahkan untuk menciptakan peluang positif bagi pertumbuhan kesejahteraan bangsa.
Pancasila sebagaimana ideologi manapun di dunia ini, adalah kerangka berfikir yang senantiasa memerlukan penyempurnaan. Karena tidak ada satu pun ideologi yang disusun dengan begitu sempurnanya sehingga cukup lengkap dan bersifat abadi untuk semua zaman, kondisi, dan situasi. Setiap ideologi memerlukan hadirnya proses dialektika agar ia dapat mengembangkan dirinya dan tetap adaptif dengan perkembangan yang terjadi. Dalam hal ini, setiap warga negara Indonesia yang mencintai negara dan bangsa ini berhak ikut dalam proses merevitalisasi ideologi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karenanya, prestasi bangsa kita akan menentukan posisi Pancasila di tengah percaturan ideologi dunia saat ini dan di masa mendatang
Sebenarnya, proses reformasi selama enam tahun belakangan ini adalah kesempatan emas yang harus dimanfaatkan secara optimal untuk merevitalisasi semangat dan cita-cita para pendiri negara kita untuk membangun negara Pancasila ini. Sayangnya, peluang untuk melakukan revitalisasi ideologi kebangsaan kita dalam era reformasi ini masih kurang dimanfaatkan. Bahkan dalam proses reformasi-selain sejumlah keberhasilan yang ada, terutama dalam bidang politik-juga muncul ekses berupa melemahnya kesadaran hidup berbangsa. Manifestasinya muncul dalam bentuk gerakan separatisme, tidak diindahkannya konsensus nasional, pelaksanaan otonomi daerah yang menyuburkan etnosentrisme dan desentralisasi korupsi, demokratisasi yang dimanfaatkan untuk mengembangkan paham sektarian, dan munculnya kelompok-kelompok yang memromosikan secara terbuka ideologi di luar Pancasila.
Patut disadari oleh semua warga bangsa bahwa keragaman bangsa ini adalah berkah dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Oleh sebab itu, semangat Bhinneka Tunggal Ika harus terus dikembangkan karena bangsa ini perlu hidup dalam keberagaman, kesetaraan, dan harmoni. Sayangnya, belum semua warga bangsa kita menerima keragaman sebagai berkah. Oleh karenanya, kita semua harus menolak adanya konsepsi hegemoni mayoritas yang melindungi minoritas karena konsep tersebut tidak sesuai dengan konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia.
II. RUMUSAN PANCASILA
Atas nama Pancasila, panji-panji revolusi dipancangkan dan politik dinobatkan sebagai panglima. Siapa yang berani menentang Pancasila ia akan dicap sebagai kontra revolusioner, penganut kapitalis dan neo kolonialisme. Atas nama Pancasila pula, revolusi digantikan oleh pembangunan ekonomi – bukan politik. Siapa yang menentang Pancasila juga dikatakan sebagai anti pembangunan, tidak Pancasilais dan dicap sebagai Komunis. Dan sekarang ketika Orde Baru runtuh serta gelombang reformasi diteriakkan, fenomena dengan intepretasi serupa juga muncul, yakni berbicara tentang pancasila seolah-olah di cap sebagai bagian dari Orde Baru, tidak reformis dan di cap sebagai kelompok status quo.Bagaimana kita menjelaskan semua itu ? mungkinkah akhirnya kita mengatakan bahwa justifikasi apapun mengenai Pancasila, pada akhirnya ia berkorelasi dengan keterpurukan bangsa, yang pada gilirannya kita akan mengatakan bahwa Pancasila adalah slogan kosong yang tak ada apa-apanya.
Untuk maksud tersebut, maka beberapa catatan singkat tentang latar belakang historis dari Pancasila dibutuhkan. Makalah ini tidak secara detail menjabarkan proses lahirnya Pancasila yang pernah dibahas pada rapat-rapat BPUPKI (Badan Usaha Penyelidik Persiapan Kemerdekaan Indonesia) waktu itu, yaitu tentang : “Apakah dasar negara yang akan kita bentuk itu ? Fakta sejarah membenarkan bahwa terdapat perbedaan pendapat antar anggota (Baca : BPUPKI). Ada yang mengatakan bahwa pertanyaan tersebut terlampau filosofis. Membahasnya akan membawa seluruh badan ini terjerumus kepada perdebatan yang tidak relevan, abstrak dan tanpa akhir. Oleh karena itu mereka mengusulkan untuk langsung menyelesaikan naskah UUD terlebih dahulu, yang menurut mereka lebih praktis, realistis, relevan dan mendesak. Namun sebagian terbesar anggota BPUPKI setuju untuk akhirnya terlebih dahulu membahas tentang dasar negara, karena dianggap bahwa persoalan tersebut amat penting untuk diselesaikan terlebih dahulu, sebelum melangkah ke soal-soal lain. Sebab yang dipertaruhkan disini tidak lain adalah “Kebhineka Tunggal Ika-an” Indonesia.
Perdebatan tajam tak terhindari. Kelompok yang menurut Soekarno terdiri dari kelompok Islam, Nasionalis, Federalis dan Unitaris memiliki gagasan sendiri-sendiri yang sulit dipertemukan. Namun demikian para pendiri negara dan bangsa tersebut menyadari bahwa perdebatan dan perbedaan tersebut adalah merupakan masalah yang paling penting.
Pada tanggal 1 Juni 1945, setelah pertentangan selama tiga hari, Soekarno menyampaikan pidato yang kemudian menjadi amat terkenal dengan sebutan lahirnya Pancasila. Di dalam pidato tersebut, Soekarno menawarkan jalan keluar : Indonesia merdeka bukan negara agama, dan bukan pula negara sekuler, tetapi negara berdasarkan Pancasila. Pancasila seperti yang diusulkan oleh Soekarno, dirumuskan menurut urutan sebagai berikut : Pertama, Kebangsaan, Kedua, Internasionalisme/Perikemanusiaan, Ketiga, Mufakat/ Demokrasi, Keempat, Kesejahteraan Sosial dan Kelima, Ketuhanan Yang Maha Esa. Rumusan yang kemudian dijadikan mainset dalam Piagam Jakarta, dirubah susunannya untuk mengakomodir kepentingan-kepentingan kelompok yang berbeda, akhirnya dianggap sebagai jalan keluar dari kebuntuan dan tekanan waktu yang amat singkat.
Kembali kepada latar belakang perkembangan Pancasila, hasil rumusan yang menghasilkan Piagam Jakarta itu kemudian di pergunakan sebagai dasar untuk merumuskan UUD, yang proses pembentukannya juga diwarnai oleh perbedaan/perdebatan panjang mengenai beberapa pasal yang bersinggungan dengan persoalan-persoalan agama. Namun pada akhirnya juga di sahkan UUD 1945. Yang kita sebut Pancasila adalah seperti yang dirumuskan di dalam mukadimahnya. Yang berbeda baik dibandingkan dengan pidato Soekarno maupun dengan Piagam Jakarta. Rumusannya adalah sebagai berikut : Pertama : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kedua, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Ketiga, Persatuan Indonesia, Keempat, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat/ Kebijaksanaan dalam Permusyaawaratan/ Perwakilan, Kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh rakyat Indonesia.
Di Dalam perkembangan selanjutnya, dasar negara Indonesia juga terus mengalami upaya-upaya perubahan. Upaya perubahan tersebut terjadi dimasa pemberlakuan UUDS1950 dan masa setelah Pemilu 1955 dimana anggota konstituante bersidang kembali untuk merumuskan UUD, tetapi sidang konstituante ini tidak berjalan lancar, ketika anggota-anggota konstituante harus mengambil keputusan mengenai dasar negara, maka segera mereka terpecah menjadi tiga kelompok besar : yaitu mereka yang menghendaki Pancasila sebagai dasar negara, mereka yang menghendaki Islam sebagai dasar negara, dan mereka yang menghendaki sosialisme sebagai dasar negara. Perdebatan selama dua setengah tahun selama pasca Pemilu 1955 tersebut tidak mengalami titik terang yang memadai, yang berimplikasi kepada ketidakberhasilan konstituante melaksanakan tugas yang berimplikasi kepada terlantarnya proses perumusan konsepsi ketatanegaraan Indonesia.
Dalam keadaan itulah pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno, setelah mendapat dukungan pihak militer, mengumumkan “dekrit kembali ke UUD 1945”. Amat menarik untuk dicatat sejarah adalah bahwa dekrit – yang paling sedikit dalam pandangan Barat adalah tidak demokratis – ternyata mendapat dukungan yang amat luas dari rakyat Indonesia. Keberpihakan rakyat terhadap kebijakan Dekrit Presiden disebabkan oleh karena semua pihak telah kehilangan tenggang rasa (tepa selira) mereka. Dan oleh karena itu bertentangan dengan orientasi nilai yang terarah kepada keserasian, mufakat, dan sebagainya. Ia mengancam seluruh masa depan. Mereka (baca : Rakyat Indonesia) merasa lega, ketika konstituante di bubarkan. Namun mereka merasa lebih lega, ketika diumumkan bahwa Indonesia akan kembali ke UUD 1945. kegembiraan rakyat terutama di dasarkan kepada kenyataan bahwa UUD 1945 (dan Pancasila) bagi mereka mempunyai makna simbolis yang dalam yang merepresentasikan “semangat revolusioner 1945 yang murni”. Kembali kepada UUD 1945 berarti kembali kepada yang murni dan asli.
Untuk memahami Pancasila yang “asli” pemerintah Soeharto menunjuk 5 (lima) orang sesepuh pendiri bangsa sekaligus perumus Pancasila yaitu, Moh Hatta, Ahmad Soenardjo, Alex AA Maramis, Sunaryo dan Abdul Gafur Pronggodigdo untuk memberikan dasar bagi pemahaman Pancasila secara benar. Maka pada tahun 1978 MPR mengesahkan ketetapan Nomor II/MPR/1978 mengenai pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila – Eka Prasetya Panca Karsa yang terkenal dengan P-4 yang pembentukannya bukan merupakan tafsir Pancasila sebagai dasar negara dan juga tidak dimaksudkan menafsirkan Pancasila sebagai dasar negara sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945, batang tubuh dan penjelasannya.
P-4 hanya sebagai pedoman dan penuntun kehidupan bermasyarakat, berbangssa dan bernegara bagi setiap warga negara Indonesia. Atas dasar makna tersebut, pada tahun 1978 Presiden Soeharto membuat kebijakan tentang perlunya penataran dengan tujuan untuk menyebarluaskan P-4 seluas mungkin, khususnya dikalangan pegawai negeri dan pemimpin-pemimpin masyarakat. Penataran P-4 yang menurut pemerintah bukanlah indokrinasi, melainkan suatu gerakan untuk memahami kembali, menyelami lebih dalam, menghayati dan mengamalkan gagasan bangsa Indonesia tentang tujuan dan cita-citanya. Namun demikian perkembangan penataran P-4 ini, lambat laun berubah menjadi suatu sarana untuk melegitimasikan hegemoni negara terhadap masyarakat, sehingga justru masyarakat menjadi terkungkung dan terpenjara dengan sebuah proses pembenaran sepihak yang dibuat oleh negara atas nama Pancasila. Penataran P-4 menjadi hanya sekedar sloganisme dangkal yang bersumber pada pemahaman budaya berfikir bangsa Indonesia tentang sejarahnya yang sempit. Artinya pengkajian penataran P-4 hanya diformulasikan dengan pendekatan melulu-teoritis yang pada akhirnya cenderung menjerumuskan kita pada problematik teoritis pula, tanpa menyentuh problematik nyata yang mendesak yang terjadi di tengah-tengah masyarakat yang sedang membangun. Pendekatan teoritis terhadap Pancasila akhirnya berimplikasi pada suatu usaha yang melelahkan dan sia-sia, karena menghadapi keruwetan teoritis yang tak akan pernah mampu kita uraikan. Masalah-masalah yang nyata malah jadi terlantar, Pancasila akhirnya membeku dan buntu dalam bentuk formal, sehingga tidak mampu memberikan ilham serta daya dorong untuk bertindak. Karena “pemaksaan” yang dilakukan oleh negara mengenai penataran P-4 tersebut, lambat laun justru menyadarkan masyarakat bahwa konsep yang sebenarnya efektif dan baik akhirnya juga diintepretasikan negatif oleh publik karena petualangan penguasa Orde Baru untuk menguasai dan meminimalisir sedikit mungkin peluang masyarakat melakukan proses tawar (bargaining) kepada negara.
Toleransi yang menjadi “tema politik” Pancasila baik kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara diintepretasikan sesuai dengan selera dan kepentingan negara, padahal menurut Muhammad Natsir : “Toleransi adalah ruang atmosfer dimana konfrontasi antara ide-ide dan pemikiran-pemikiran dimungkinkan. Toleransi tanpa konfrontasi bukanlah toleransi, ia hanya berarti mengelakkan masalah, yang kita perlukan sebenarnya adalah konfrontasi di dalam atmosfer toleransi, dimana perbenturan antara ide-ide dan pemikiran akhirnya akan membawa kita kepada kebenaran. Tidak ada yang bebas dari diskusi yang kritis dan perbandingan”.
Perspektif sejarah diatas sebenarnya telah mengajak kita untuk mengambil proses ikhtiar yang positif. Sejarah adalah guru kehidupan. Dari sejarah kita bisa mengambil proses pembelajaran yang matang bagi pendewasaan berfikir kita, artinya dalam konteks ini kita harus berani mengambil sikap bahwa persoalan Pancasila adalah sebuah persoalan tafsir-intepretasi keliru yang dilakukan penguasa. Intepretasi yang sengaja dilakukan untuk melegitimasikan absolutisme struktur kekuasaan. Dan sebagai masyarakat ilmiah, kita seharusnya tidak terjebak kepada kesimpulan-kesimpulan salah mengenai Pancasila. Ibarat pepatah : “Besi mesti ditempa selagi Panas”, masyarakat ilmiah justru harus memiliki kewajiban moral-intelektual membentuk kembali paradigma masyarakat mengenai Pancasila secara obyektif.
Untuk membentuk paradigma tersebut, maka Perguruan Tinggi harus senantiasa menganalisisnya melalui suatu pendekatan yang obyektif. Hal tersebut sesuai dengan amanah rakyat pada Sidang Istimewa 1998 lalu, yang telah menyepakati bahwa Pancasila bukan lagi sebagai idelogi tunggal, ia sudah menjadi ideologi terbuka yang sudah seharusnya sejajar dengan ideologi-ideologi besar lainnya di dunia. Dan perguruan Tinggi adalah tempat yang diamanahkan negara untuk selalu senantiasa menganalisis dan menjawab masalah-masalah yang menyangkut ideologi negara untuk diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan segala implikasinya.

III. NILAI-NILAI PANCASILA
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
Makna sila ini adalah:
• Percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
• Hormat dan menghormati serta bekerjasama antara pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup.
• Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.
• Tidak memaksakan suatu agama atau kepercayaannya kepada orang lain.
2. Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab
Makna sila ini adalah:
• Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia.
• Saling mencintai sesama manusia.
• Mengembangkan sikap tenggang rasa.
• Tidak semena-mena terhadap orang lain.
• Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
• Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
• Berani membela kebenaran dan keadilan.
• Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari masyarakat Dunia Internasional dan dengan itu harus mengembangkan sikap saling hormat-menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.
3. Persatuan Indonesia
Makna sila ini adalah:
• Menjaga Persatuan dan Kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
• Rela berkorban demi bangsa dan negara.
• Cinta akan Tanah Air.
• Berbangga sebagai bagian dari Indonesia.
• Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.
4. Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan / Perwakilan
Makna sila ini adalah:
• Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat.
• Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.
• Mengutamakan budaya rembug atau musyawarah dalam mengambil keputusan bersama.
• Berrembug atau bermusyawarah sampai mencapai konsensus atau kata mufakat diliputi dengan semangat kekeluargaan.
5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Makna sila ini adalah:
• Bersikap adil terhadap sesama.
• Menghormati hak-hak orang lain.
• Menolong sesama.
• Menghargai orang lain.
• Melakukan pekerjaan yang berguna bagi kepentingan umum dan bersama.
DAFTAR PUSTAKA


http://trinanda.wordpress.com
http://wikipedia.org

Comments

Popular posts from this blog

PRINSIP DAN TEKNIK IDENTIFIKASI DAMPAK LINGKUNGAN

biotek yoghurt

Mahalnya Kebersihan