Mahalnya Kebersihan

Mahalnya Kebersihan

Saya teringat akan sebuah kenangan ketika saya masih kelas satu SMA. Saat itu saya menemukan seorang kakak kelas sedang menyapu halaman depan masjid sekolah. Seorang kakak kelas yang tidak saya ketahui namanya itu baru saja menyelesaikan studi SMA-nya. Beberapa hari yang lalu, ia baru saja menyelesaikan UAN. Hal ini menjadi alasan bagi saya untuk berpikir bahwa beliau bukanlah pengurus masjid, dan itu berarti secara tanggung jawab organisasi dia tidak punya kewajiban untuk piket masjid.
Saya yang saat itu sedang berjalan hendak pulang, termangu menatap kakak kelas saya yang sedang menyapu itu. Sambil berkata dalam hati, “Duh euy, dadaekanan eta si teteh sasapu sorangan!”1 Kalau saya lihat sekitar masjid, pada saat itu memang hanya si teteh yang menyapu halaman. Setelah saya memperhatikan sekeliling masjid, saya berpikir lagi, “Ari rerencangana kamarana? Meni teu aya nu ngabantosan.”2 Seketika itu saya juga merasa iba sekaligus kagum melihatnya.
Selain si teteh yang satu ini, memang ada lagi orang yang bagi saya dia adalah seorang teladan di sekolah. Saya sendiri tidak tahu namanya, saya hanya tahu bahwa ‘Si Akang’ itu adalah mantan ketua DKM di sekolah saya. Dia tidak banyak omong atau ceramah, tapi banyak memberikan contoh.
Kebersihan itu sebagian dari iman. Itu adalah sebuah hadits yang sudah tak asing lagi bagi kita. Dua tahun yang lalu, saya aktif di sebuah unit keislaman yang ada di Bandung. Kata orang-orang, organisasi tempat saya aktif tersebut adalah institusi yang amat dihormati, disegani dan prestisius.
Kebersihan adalah sebagian dari iman. Nampaknya saya tidak menemukan konsep itu di organisasi tempat aktif ini. Saya tahu kalau kebanyakan orang yang aktif di sana adalah orang-orang yang pemahaman agamanya baik. Bahkan ada yang menjadi ustadz atau ustadzah. Tapi kok ruang sekretariatnya berantakan? Padahal setiap harinya hampir semua orang-orang di organisasi ini menyerukan kata “da’wah”. Aneh, aneh dan tidak kumengerti. Meski saya sempat menemukan seseorang yang sendirian menyapu ruang sekre.
Mengingat apa yang dilakukan si teteh ketika saya SMA, saya merasa malu pada orang lain yang datang melihat organisasi ini. Bila mengingat hadits tentang kebersihan tadi, saya juga malu pada Yang Maha Memelihara. Garelo! Ruang sekre Pramuka Penggalang (tingkat SMP) saja tidak sekotor ini. Lha ini, sekre organisasi tingkat mahasiswa. Pada organisasi ini, saya mengenal seorang senior bernama Wahyudi. Saya biasa memanggilnya Kang Wahyu. Dia menjadi seseorang yang paling saya hormati karena saya pernah menemukannya seorang diri menyapu sekre. Pokona mah urang salut pisan lah. 2 thumbs up. Bagi saya, dialah teladan sejati di organisasi ini.
Cerita yang tak jauh beda saya temukan di kampus. Mushala fakultas saya kenal sebagai ruangan paling jorok diantara semua ruangan yang ada di gedung fakultas kampus saya. Kupikir lebih baik jika ruangan mushala ini saya bersihkan, meski hanya mushala laki-laki. Saya tak berani masuk ruangan mushala perempuan, meski hanya dibatasi oleh sekat pembatas. Senang rasanya melihat ruangan mushala ini bersih.
Tanpa sengaja, ada seorang teman yang melihat saya sedang menyapu ruang mushala. Dia menatap saya yang saat itu benar-benar mirip seorang tukang nyapu. Saya malu untuk menceritakan sepeti apa penampilan saya saat itu. Yang jelas, saya sama sekali tidak terlihat seperti seorang mahasiswa, melainkan petugas kebersihan. Malu pisan lah. Orang yang menatap saya itu berkata, “Wah, rajin ih, bersih-bersih mushala!”
Sementara itu, saya yang sudah berkeringat lebih memilih untuk cuek. Tak banyak berkomentar, dan hanya bilang, “Nggak juga ah. Biasa aja!” Tak ada lagi yang bisa saya katakan. Sebenarnya saya ingin bilang, “Kuduna sia mikir atuh! Mushala awewe kotor, kebul, guladig siga kitu laina dibersihkeun.”3 Tapi saya kagak tega berhubung yang di hadapan saya adalah seorang perempuan.
Cuma menyapu mushala disebut rajin? Kenapa hanya karena hal kecil semacam itu disebut rajin? Padahal dulu saat masih aktif di Pramuka, saya dan teman-teman sesama anggota bisa ditegur habis-habisan gara-gara sekre kotor. Belum lagi push-up 60 kali. Beres-beres sekre Pramuka itu dilakukan setiap hari, kecuali hari Minggu, sedangkan saya menyapu mushala hanya pada moment tertentu. Rasanya benar-benar aneh kalau disebut rajin.
Kenapa ya, kebersihan menjadi sesuatu yang mahal. Padahal agama kita dibangun di atas kebersihan.

***
Keterangan:
1. “Duh, mau-maunya dia menyapu seorang diri.”
2. “Temen-temenya pada kemana? Nggak ada yang ngebantuin.”
3. “Mestinya kamu mikir! Mushala perempuan kotor, berdebu, dekil seperti itu bukannya dibersihkan.”

***
Dan pada akhirnya, tulisan ini memperlihatkan betapa bengal dan aralnya seorang Adit.

Comments

Popular posts from this blog

PRINSIP DAN TEKNIK IDENTIFIKASI DAMPAK LINGKUNGAN

biotek yoghurt