Taujih Nabawi Untuk Kader dan Qiyadah

Taujih Nabawi Untuk Kader dan Qiyadah

Oleh: Farid Nu'man Hasan

Mukadimah

Dusta jika ada manusia tidak butuh nasihat, sombong
jika ada manusia tidak butuh bimbingan. Kita semua membutuhkannya.
Sebab manusia itu memiliki potensi benar dan salah, Allah Ta'ala
berfirman:

"Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan)
kefasikan dan ketakwaannya. " (QS. Asy Syams (91): 8)

Dengan potensi kefasikan yang sudah ada saja sudah
cukup bagi manusia untuk melakukan penyimpangan, ditambah lagi adanya
gangguan syaitan la'natullah 'alaih, yang selalu mengajak manusia ke
jalan yang sesat menjadi pengikut mereka, Allah Ta'ala berfirman:

"Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia
musuh(mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak
golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala. "
(QS. Fathir (35): 6)

Namun demikian, Allah Tabaraka wa Ta'ala juga
menyediakan berbagai mekanisme penjagaan dan perawatan fitrah seorang
mukmin, salah satunya adalah budaya saling memberikan nasihat
(munashahah) dan tadzkirah. Inilah budaya yang mengeluarkan manusia
dari zona Al Khusr (kerugian), Allah Ta'ala berfirman:

"Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam
kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh
dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat
menasehati supaya menetapi kesabaran." (QS. Al 'Ashr (103): 1-3)

Inilah budaya yang bermanfaat buat orang beriman,
Allah Ta'ala berfirman:

"Dan tetaplah memberi peringatan, karena Sesungguhnya peringatan itu
bermanfaat bagi orang-orang yang beriman." (QS. Adz Dzariyat (51): 55)

Ya, peringatan ini bermanfaat untuk hati orang-orang mukmin (Tafsir Al
Quran Al 'Azhim, 7/425) karena hatilah panglima aktifitas menuju
perubahan dan perbaikan. Kecerdasan manusia tidaklah mencukupi jika
hati belum ada kemauan untuk berubah.

Atas dasar ini, dengan memposisikan diri sebagai bagian dari objek
taushiah dan tidak menggurui, kami turunkan risalah ini yang kami
beri tajuk 'Taujih Nabawi Untuk Kader dan Qiyadah' dalam rangka
melerai pertikaian dan menyudahi kedengkian, tidak meluas wilayahnya
(sebab ini hanyalah guncangan Jadebotabek dan internet, sedangkan di
daerah-daerah sama sekali tidak dirasakan), demi keutuhan jamaah,
kemajuan, dan kejayaan dakwah Islam. Allah Ta'ala berfirman:

"Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang
hendaklah kamu damaikan antara keduanya!" (QS. Al Hujurat (49): 9)

Mendamaikan orang-orang beriman dengan mengajak mereka
kembali merujuk Kitabullah dan rela terhadap apa-apa yang
ditetapkanNya untuk dan atas mereka, dan kitabullah merupakan media
paling adil untuk mendamaikan manusia (Jami'ul Bayan fi Ta'wilil
Qur'an, 22/292), maka mari kita jadikan marja' utama kita, yakni Al
Quran dan As Sunnah sebagai pemersatu kita semua.

I. Taujih Nabawi Untuk Kader

Maksud 'kader' di sini adalah siapa saja yang masih mengikuti proses
tarbiyah secara intens di berbagai jenjangnya, apa pun jabatan mereka
di jamaah dan hizb, atau yang tidak menjadi apa-apa. Ada pun bagi yang
tidak masuk kategori ini, namun ikut bermain api di dalamnya, dan ikut
memperkeruh suasana dan memprovokasi, maka kami ingatkan untuk para
kader terhadap tipuan mereka:

"Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, Padahal mereka tidak menyukai
kamu, dan kamu beriman kepada Kitab-Kitab semuanya. apabila mereka
menjumpai kamu, mereka berkata "Kami beriman", dan apabila mereka
menyendiri, mereka menggigit ujung jari lantaran marah bercampur benci
terhadap kamu." (QS. Al Imran (3): 119)

Ya, jika mereka berdiskusi dengan kita, berhadapan dengan kita, mereka
menyatakan bahwa "Kami adalah kader tarbiyah," tetapi perilaku mereka
bak menyiram bensin di kobaran api yang kecil. Sehingga, perselisihan
kecil, nasihat biasa, dijadikannya sebagai pisau pembunuh keutuhan
jamaah hingga permasalahan melebar ke mana-mana. Untuk mereka ini,
para outsider yang ikut bersandiwara di dalam wacana dan dialektika
jamaah, maka cukuplah bagi kalian:

"Katakanlah (kepada mereka): "Matilah kamu karena kemarahanmu itu".
Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati." (QS. Ali Imran (3):
119)

Sebaliknya, untuk para kader tarbiyah, diam adalah lebih baik jika
belum tahu permasalahan. Tidak terpancing emosi, bersikap, dan
komentar yang melebihi kapasitasnya. Tidak termakan berita bohong,
atau justru menjadi penyebar berita bohong. Teruslah menuntut ilmu,
berdakwah, dan beramal.

"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan
hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya." (QS. Al
Isra': 36)

"Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari
golongan kamu juga." (QS. An Nur (24): 11)

Berikut adalah Taujih Nabawi yang bertebaran di
berbagai kitab hadits untuk para kader. Kami akan sampaikan beberapa
saja, di antaranya:

A. Tetaplah Taat Selama Perintah Bukan Maksiat

Dari Abu Hurairah Radhiallahu 'Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu
'Alaihi wa Sallam bersabda:

ãóäú ÃóØóÇÚóäöí ÝóÞóÏú ÃóØóÇÚó Çááøóåó æóãóäú ÚóÕóÇäöí ÝóÞóÏú ÚóÕóì
Çááøóåó æóãóäú íõØöÚú ÇáúÃóãöíÑó ÝóÞóÏú ÃóØóÇÚóäöí æóãóäú íóÚúÕö
ÇáúÃóãöíÑó ÝóÞóÏú ÚóÕóÇäöí æóÅöäøóãóÇ ÇáúÅöãóÇãõ ÌõäøóÉñ íõÞóÇÊóáõ
ãöäú æóÑóÇÆöåö æóíõÊøóÞóì Èöåö ÝóÅöäú ÃóãóÑó ÈöÊóÞúæóì Çááøóåö
æóÚóÏóáó ÝóÅöäøó áóåõ ÈöÐóáößó ÃóÌúÑðÇ æóÅöäú ÞóÇáó ÈöÛóíúÑöåö ÝóÅöäøó
Úóáóíúåö ãöäúåõ

"Barangsiapa yang mentaatiku, maka dia telah taat kepada Allah.
Barangsiapa yang bermaksiat kepadaku, maka dia telah maksiat kepada
Allah. Barangsiapa yang taat kepada pemimpin maka dia telah
mentaatiku. Barangsiapa yang membangkang kepada pemimpin, maka dia
telah bermaksiat kepadaku. Sesungguhnya pemimpin adalah perisai ketika
rakyatnya diperangi dan yang memperkokohnya. Jika dia memerintah
dengan ketaqwaan kepada Allah dan keadilan, maka baginya pahala. Jika
dia mengatakan selain itu, maka dosanya adalah untuknya." (HR.
Bukhari, 10/114/2737. Muslim, 9/364/3417. An Nasa'i, 13/95/4122. Ibnu
Majah, 8/393/2850. Ahmad, 15/166/7125)

Hadits ini tidak syak lagi, berbicara tentang keutamaan pemimpin yang
tidak dimiliki oleh selainnya. Ketaatan kepada mereka dan
pembangkangan kepada mereka seakan disetarakan dengan ketaatan dan
pembangkangan kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Dalam
konteks jamaah dakwah, maka para qiyadah adalah pemimpin kita.

Qiyadah seperti apa yang berhak mendapatkan ketaatan dari umatnya
(baca: kader)? Al Hafzih Ibnu Hajar mengatakan setiap yang
memerintahkan dengan kebenaran dan dia seorang yang adil, maka dia
adalah pemimpin Asy Syaari' (pembuat syariat) yang dengan syariatNya
pemimpin tersebut memerintah. (Fathul Bari, 20/152)

Jadi, patokannya adalah syariah, sejauh mana ketaatan pemimpin
tersebut kepada Allah dan RasulNya, dan syariat yang diajarkan oleh
RasulNya. Sejauh mana pula kebenaran perintah mereka dalam timbangan
syariah. Namun, sebagain ulama Ahlus Sunnah tetap mempertahankan bahwa
pemimpin yang fasiq tetaplah harus ditaati perintahnya yang baik-baik,
ada pun kefasiqannya ditanggung oleh dirinya sendiri sesuai hadits di
atas.

Untuk perintah yang maksiat kepada Allah Ta'ala dan RasulNya, maka
semua ulama sepakat tidak ada ketaatan kepada pemimpin yang memerintah
seperti itu. Banyak hadits yang menegaskan hal demikian, di antaranya:

Dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu 'Anhu, bahwa Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

"Tidak ada ketaatan dalam bermaksiat kepada Allah, sesungguhnya
ketaatan itu hanya ada pada yang ma'ruf (dikenal baik)." (HR. Muslim,
9/371/3424. Abu Daud, 7/210/2256. An Nasa'i, 13/114/4134. Ahmad,
2/192/686. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, 8/156. Sementara Bukhari
meriwayatkan tanpa lafaz Laa Tha'ata fi Ma'shiyatillah, 13/237/3995)

Dari Ibnu Umar Radhiallahu 'Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
wa Sallam bersabda:

"Dengar dan taat atas seorang muslim adalah pada apa yang disukai dan
dibencinya, selama tidak diperintah maksiat. Jika diperintah untuk
maksiat, maka jangan didengar dan jangan ditaati." (HR. Bukhari,
22/52/6611. Abu Daud, 7/211/2257. At Tirmidzi, 6/300/1929. Ahmad,
9/475/4439. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, 3/127)

Dari hadits-hadits ini mereka sepakat, bahwa yang tidak ditaati adalah
perintahnya saat ia memerintahkan perintah yang maksiat tersebut, baik
perintah itu datangya dari pemimpin yang adil atau zalim terhadap
rakyatnya, suami ke pada isterinya, orang tua kepada anaknya, jenderal
kepada prajuritnya, dan sebagainya.

Para ulama berbeda pendapat, apakah juga wajib tetap taat kepada
pemimpin yang fasiq dan zalim, namun belum kafir. Ini dilihat dari
sisi kepribadian pemimpin tersebut, bukan dilihat dari isi (content)
yang diperintahkannya.

Kebanyakan Ahli hadits mengatakan, tetap wajib taat kepada pemimpin
yang zalim dan fasiq, serta bersabar menghadapi mereka, selama mereka
masih menegakkan shalat, dan belum melakukan tindakan yang
mengeluarkannya dari Islam secara nyata (kufrun bawaah), dan selama
perintahnya bukan maksiat, ada pun kefasikan dan kezaliman pemimpin,
maka itu ditanggung oleh dirinya sendiri. Ini juga pendapat Imam Hasan
Al Bashri.

Sebagian muhaqqiq dari kalangan Syafi'iyah menyatakan wajibnya
mentaati pemimpin, baik perintah atau larangan, selama bukan perintah
haram. (Imam Al Alusi, Ruhul Ma'ani, 4/106)

Imam Ar Razi mengatakan, taat kepada Allah, Rasul, dan Ahli ijma'
adalah pasti (qath'i), ada pun terhadap pemimpin dan penguasa,
tidaklah taat secara pasti, bahkan kebanyakan adalah haram, karena
mereka tidaklah memerintah melainkan dengan kezaliman (li annahum Laa
ya'muruuna illa bizh zhulmi). (Mafatihul Ghaib, 5/250)

Mereka berdalil dengan banyak hadits, di antaranya hadits berikut:

"Kecuali kalian melihatnya melakukan kekafiran yang
nyata, dan kalian telah mendapatkan bukti nyata dari Allah
terhadapnya. " (HR. Bukhari, 21/444/6532. Muslim, 9/374/3427)

Dalil lainnya, dari Hudzaifah bin Al Yaman Radhiallahu
'Anhu beliau berkata:

"Ya Rasulullah, sesungguhnya mendapatkan keburukan
lalu datanglah kebaikan dari Allah, dan kami saat itu masih ada.
Apakah setelah kebaikan itu datang keburukan lagi?" Rasulullah
menjawab: "Ya." Hudzaifah bertanya: "Apakah setelah keburukan itu akan
datang kebaikan lagi?" Rasulullah mejawab: "Ya." Hudzaifah bertanya:
"Apakah setelah kebaikan akan datang keburukan lagi." Rasulullah
menjawab: "Ya." Hudzaifah bertanya lagi: "Bagaimana itu?" Rasulullah
menjawab: "Akan ada setelahku nanti, para pemimpin yang tidaklah
menuntun dengan petunjukku, tidak berjalan dengan sunahku, dan pada
mereka akan ada orang-orang yang berhati seperti hati syaitan dalam
tubuh manusia." Hudzaifah bertanya: "Apa yang aku lakukan jika aku
berjumpa kondisi itu Ya Rasulullah?" Rasulullah menajwab: "Dengarkan
dan taati pemimpinmu, dan jika punggungmu dipukul dan diambil hartamu,
maka dengarkan dan taat." (HR. Muslim, 9/387/3435. Al Baihaqi. As
Sunan Al Kubra, 8/157. Ath Thabarani, Al Mu'jam Al Ausath, 6/459/3003.
Al Maktabah Asy Syamilah)

Dari 'Auf bin Malik Al Asyja'i Radhiallahu 'Anhu,
bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

"Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mereka pun
mencintai kalian, mereka mendoakan kalian, dan kalian juga mendoakan
mereka. Seburuk-buruknya pemimpin kalian adalah yang kalian benci dan
mereka pun membenci kalian, kalian melaknat mereka, dan mereka pun
melaknat kalian." Rasulullah ditanya: "Ya Rasulullah tidakkah kami
melawannya dengan pedang?" Rasulullah menjawab: "Jangan, selama mereka
masih shalat bersama kalian. Jika kalian melihat pemimpin kalian
melakukan perbuatan yang kalian benci, maka bencilah perbuatannya, dan
jangan angkat tangan kalian dari ketaatan kepadanya." (HR. Muslim,
9/403/3447. Ahmad, 49/11/22856. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, 8/158.
Ath Thabarani, Al Mu'jam Al Kabir, 12/431. Ad Darimi, 9/19/2853. Ibnu
Hibban, 19/182/4672. Al Maktabah Asy Syamilah)

Imam An Nawawi mengatakan, tidak dibenarkan keluar
dari ketaatan kepada pemimpin jika semata karena kezaliman dan
kefasikannya, selama dia tidak merubah kaidah-kaidah agama. (Syarh
Shahih Muslim, 6/327)

Selain itu, Imam Bukhari menulis sebuah Bab dalam
kitab Shahih-nya, Kewajiban berjihad bersama orang baik atau fajir (Al
Jihad Maadhin 'Alal Barri wal Faajir). Begitu pula Imam Abu Daud,
belaiu membuat bab dalam kitab Sunan-nya, Perang Bersama Pemimpin yang
Zalim (Fil Ghazwi ma'a A'immati Al Jauri). Sehingga Imam Ahmad
menjadikannya alasan bahwa tidak ada perbedaan antara berjihad
bersama pemimpin yang adil atau zalim, keutamaan-keutamaan jihad tetap
akan didapatkan. (Fathul Bari, 8/474). Begitu pula yang dikatakan Imam
Asy Syaukani (Nailul Authar, 11/495). Syaikh Sayyid Sabiq mengatakan,
tidak disyaratkan berjihad itu harus dengan hakim yang adil, atau
pemimpin yang baik, sebab jihad wajib dalam segala keadaan. (Fiqhus
Sunnah, 2/640)

Begitu juga dalam shalat, para ulama menetapkan
kebolehan berimam kepada orang zalim dan fasiq, karena dahulu para
sahabat, di antaranya Ibnu Umar pernah berimam kepada penguasa zalim,
gubernur Madinah, Hajaj bin Yusuf Ats Tsaqafi (pembunuh Abdullah bin
Zubeir) sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam bukhari. Sedangkan
Imam Muslim meriwayatkan bahwa Abu Said Al Khudri shalat dibelakang
khalifah Marwan. Imam An Nasa'i membuat Bab dalam kitab Sunan-nya,
Shalat Bersama Imam Zalim (Ash Shalatu Ma'a A'immatil Jauri).

Demikianlah alasan para ulama yang tetap mewajibkan
taat kepada pemimpin fasiq dan zalim, selama mereka masih muslim, dan
isi perintahnya adalah bukan maksiat.

Sementara, sebagian Imam Ahlus Sunnah lainnya
menyatakan tidak wajib taat kepada pemimpin yang zalim dan fasiq,
karena kefasikan dan kezalimannya itu, bukan hanya karena faktor isi
perintahnya saja yang berisi maksiat.

Dalilnya adalah:

"Dan janganlah kamu taati orang-orang yang melampuai batas.(yaitu)
mereka yang membuat kerusakan di bumi dan tidak mengadakan perbaikan."
(QS. Asy Syu'ara: 151-152)

"Dan janganlah kalian taati orang yang Kami lupakan hatinya untuk
mengingat Kami dan ia mengikuti hawa nafsu dan perintahnya yang sangat
berlebihan." (QS. Al Kahfi: 28)

Imam Nashiruddin Abul Khair Abdullah bin Umar bin
Muhammad, biasa dikenal Imam Al Baidhawi, berkata dalam tafsirnya,
ketika mengomentara surat An Nisa', ayat 59, bahwa yang dimaksud
dengan 'pemimpin' di sini adalah para pemimpin kaum muslimin sejak
zaman Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan sesudahnya, seperti
para khalifah, hakim, panglima perang, di mana manusia diperintah
untuk mentaati mereka setelah diperintah untuk berbuat adil, wajib
mentaati mereka selama mereka di atas kebenaran (maa daamuu 'alal
haqqi). (Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta'wil, 1/466)

Artinya, ketika pemimpin tersebut sudah tidak di atas
kebenaran (baik karena perilaku atau pemahaman pribadi), maka tidak
ada kewajiban taat kepadanya. Imam Al Baidhawi tidak membicarakan
tentang isi perintahnya. Makna pemimpin pun tidak sebatas pada
khalifah, tetapi juga pemimpin apa pun, termasuk dalam konteks
pembahasan kita, yakni qiyadah sebuah jamaah atau organisasi.

Bahkan Imam Abul Hasan Al Mawardi mengatakan, bahwa
umat berhak meminta pencopotan kepada pemimpin jika mereka memang
hilang ke'adalahannya, yakni melakukan kefasikan (baik karena syahwat
atau syubhat) dan cacat tubuhnya. (Imam Al Mawardi, Al Ahkam As
Sulthaniyah, Hal. 28). Ini juga diriwayatkan sebagai pendapat Imam Asy
Syafi'i, Imam Ibnu Hazm, dan Imam Al Ghazali.

Bapak sosiolog Islam, Ibnu Khaldun juga mengatakan
tidak boleh dikatakan 'memberontak' bagi orang yang melakukan
perlawanan terhadap pemimpin yang fasiq. Beliau memberikan contoh
perlawanan Al Husein terhadap Yazid, yang oleh Ibnu Khaldun disebut
sebagai pemimpin yang fasiq. Apa yang dilakukan oleh Al Husein adalah
benar, ijtihadnya benar, dan kematiannya adalah syahid. Tidak boleh
dia disebut bughat (memberontak/ makar) sebab istilah memberontak hanya
ada jika melawan pemimpin yang adil. (Muqaddimah, Hal. 113)

Sebaliknya, Imam Ibnu Tamiyah menganjurkan untuk sabar, tidak
memberontak menghadapi 'musibah' pemimpin yang zalim (Majmu' Fatawa,
1/262)

Akhirnya ..., setelah panjang lebar kami menguraikan, bagaimana
menyikapi pemimpin yang melakukan penyimpangan, fasiq, dan zalim,
nampak jelas bagi kami bahwa sikap tetap taat dan sabar adalah lebih
utama dan lebih membawa maslahat, dan dapat mencegah kemudharatan
serta chaos berkepanjangan, walau keputusan dan perilaku sebagian
qiyadah sangat 'menggeramkan' dan 'menjengkelkan' menurut sebagian
kader, yang penting kader tidak diperintah untuk maksiat yang nyata,
dan baik sangka lebih dikedepankan, bahwa mustahil qiyadah
memerintahkan kadernya untuk maksiat kepada Allah Ta'ala. Dan wajh
istidlal (sisi pendalilan) sikap ini pun lebih argumentatif dan
legitimate.

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa
Sallam bersabda:

"Barangsiapa yang melihat pemimpinnya ada sesuatu yang
dibencinya, maka hendaknya dia bersabar, sebab barang siapa yang
memisahkan diri dari jamaah walau sejengkal lalu dia mati, maka
matinya dalam keadaan jahiliyah." (HR. Bukhari, 21/443/6531. Muslim,
9/390/3438. Ahmad, 5/389/2357. Ath Thabarani, Al Mu'jam Al Kabir,
10/305/12590. Al Baihaqi, Syu'abul Iman, 16/46/7239. Ad Darimi,
8/6/2574. Abu Ya'la, 5/402/2293)

Dari hadits ini, tentu kami tidak mengatakan
'jahiliyah' orang yang keluar dari jamaah tarbiyah, sebab hadits ini
sedang berbicara tentang jamaatul muslimin (jamaah umat Islam
keseluruhan) . Tetapi ada pelajaran berharga dari hadits ini yakni
perintah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam kepada umatnya agar
bersabar menghadapi pemimpin yang perilaku, pemahaman, atau
keputusannya tidak disukai mereka. Ini alasan yang kuat kenapa kader
hendaknya mengambil sikap taat dan sabar. Kami rasa sikap ini lebih
bisa dipertanggungjawabk an secara keilmuan, karena didasari oleh dalil
dan pandangan para ulama, bukan karena emosi.

Imam An Nawawi menjelaskan makna miitatan jahiliyah (mati jahiliyah)
dalam hadits tersebut, dengan huruf mim dikasrahkan (jadi bacanya
miitatan bukan maitatan), artinya kematian mereka disifati sebagaimana
mereka dahulu tidak memiliki imam (pada masa jahiliyah). (Syarah
Shahih Muslim, 6/322/3436)

Sementara Imam Asy Syaukani dalam Nailul Authar,
menjelaskan; bahwa yang dimaksud dengan miitatan jahiliyah dengan
huruf mim yang dikasrahkan adalah dia mati dalam keadaan seperti
matinya ahli jahiliyah yang tersesat di mana dia tidak memiliki imam
yang ditaati karena mereka tidak mengenal hal itu, dan bukanlah yang
dimaksud matinya kafir tetapi mati sebagai orang yang bermaksiat.
(Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 11/399)

Ada pun surat Al Kahfi ayat 28: "Dan janganlah kalian taati orang yang
Kami lupakan hatinya untuk mengingat Kami." Tidak bisa dijadikan
hujjah, sebab maksudnya adalah orang-orang yang hatinya lebih condong
kepada syirik dibanding tauhid. (Imam Asy Syaukani, Fathul Qadir,
4/384). Atau menyibukkan diri dengan dunia dan melupakan ibadah dan
Rabbnya. (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al Azhim, 5/154). Apakah
ada yang tega menyebut qiyadah telah melakukan syirik yang nyata?
(misal, karena iklan Soekarno, "Aku adalah budak rakyatku," yang
membawa dampak Syirk lafzhiyah). Atau mengatakan, qiyadah telah
mendahulukan dunia di banding ibadah dan Rabbnya, bukankah mereka
memiliki lembaran mutaba'ah harian? Maka, bagi (kader) yang
menyatakan demikian, maka dia telah ghuluw (kelewat batas) dan lebih
mendahulukan zhan.

Masalahnya adalah benarkah qiyadah telah melakukan tindakan kefasiqan,
kezaliman, dan apa pun yang membuatnya layak untuk tidak ditaati
menurut sebagian ulama? Ataukah itu karena perasaan, tuduhan, atau
informasi yang tidak utuh, atau ada pihak ketiga yang bermain dan
lebih dipercaya oleh kader, atau hanya karena perbedaan ijtihad
politik saja? Jika benar qiyadah telah melakukan kefasiqan dan
kezaliman, itu pun bukan alasan yang kuat untuk membangkang
sebagaimana uraian panjang di atas. Jika tidak benar, maka lebih tidak
ada alasan lagi untuk membangkang. Namun, seharusnya qiyadah pun
harus memberikan penjelasan, tanpa ada yang disembunyikan, tentang
berbagai masalah yang digugat oleh kader. Wallahu A'lam

B. Meninggalkan Perdebatan Yang Tidak Berguna

Tanpa disadari, sebagian kader terlena dalam perdebatan panjang dan
sengit, dan mengabaikan akhlak Islam, namun tidak produktif dan justru
mengotorkan hati.

"Ada empat hal yang barangsiapa keempat hal itu ada pada diri
seseorang maka dia adalah munafik sejati, dan barangsiapa yang
memiliki satu saja, maka dia memiliki perangai kemunafikan sampai dia
meninggalkannya, yaitu: jika diberi amanah dia khianat, jika bicara
dia berbohong, jika berjanji dia melanggar, dan jika berbantahan
buruk akhlaknya." (HR. Bukhari, 1/59/33. Muslim, 1/190/88. Abu Daud,
12/298/4068. At Tirmidzi, 9/222/2556. An Nasa'i, 15/219/4934. Ibnu
Hibban, 1/497/254)

Maka, hendaknya kader dakwah meninggalkan perdebatan sengit yang
memancing emosi dan melunturkan akhlak, sebab ditakutkan tumbuhnya
bibit kemunafikan dalam hati kita, paling tidak perbuatan persebut
menyerupai orang munafiq sebagaimana yang dijelaskan para ulama.

Imam An Nawawi memberikan penjelasan, bahwa para ulama telah ijma'
barang siapa yang sudah beriman di hati dan diucapkan dengan lisan,
lalu dia melakukan hal-hal yang ada dalam hadits ini, maka mereka
tidaklah dihukumi kafir dan tidak pula dihukumi munafiq yang
membuatnya kekal di neraka, sebab saudara-saudara Nabi Yusuf
'Alaihissalam telah melakukan semua perilaku ini. Demikian juga
ditemukan bagi sebagian salaf dan ulama, baik sebagian atau
seluruhnya. Hadits ini, segala puji bagi Allah, tidak ada kemusykilan,
hanya saja para ulama berbeda pendapat dalam memaknainya. Pendapat
para muhaqqiq yang mayoritas, dan menjadi pendapat pilihan yang benar
adalah perangai-perangai ini adalah perangai munafiq, bagi pelakunya
dia telah menyerupai orang munafiq dan berakhlak dengan akhlak mereka
(kaum munafiq). Ada pun nifaq, adalah menampakkan apa-apa yang
dihatinya berbeda. Pengertian ini memang ada pada orang-orang yang
melakukan perangai tersebut, yang menjadikannya nifaq secara hak dalam
dirinya, berupa pembicaraannya, janjinya, amanahnya, atau
berbantahannya. Tetapi ini bukanlah munafiq yang zhahirnya menampakkan
Islam dan hatinya kufur. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
tidaklah bermaksud munafiq di sini adalah munafiq yang membuat
pelakunya adalah kafir dan kekal di neraka paling bawah. (Syarh Shahih
Muslim, 1/150/88. Lihat pula keterangan lebih ringkas di 'Aunul
Ma'bud, 10/207)

Imam At Tirmidzi mengatakan bahwa para ulama mengartikan nifaq pada
hadits ini adalah nifaq amal (nifak perbuatannya) , bukan nifaq takdzib
(nifaq karena kobohongan dihatinya) sebagaimana pada zaman Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, demikianlah yang diriwayatkan dari Al
Hasan Al Bashri, bahwa nifaq ada dua, yakni nifaq amal dan nifaq
takdzib. (Sunan At Tirmidzi, 9/222). Al Hafizh Ibnu Hajar juga
mengatakan bahwa nifaq di sini adalah bahwa pelakunya dihukum seperti
munafiq, yakni nifaq amal. (Fathul Bari, 1/54)

Kita pun diperintahkan untuk meninggalkan perbuatan yang tidak
bermanfaat. Dari Abu Hurairah Radhiallahu 'Anhu, bahwa Rasulullah
Shalallahu 'Alaihi wa SallamI bersabda:

"Di antara baiknya Islam seseorang adalah ia meninggalkan hal-hal yang
tidak bermanfaat." (HR. At Tirmidzi,8/294/ 2239. Malik, 5/381/1402,
dari Ali bin Husein bin Ali bin Ab Thalib. Ibnu Majah, 11/ 472/3966.
Ahmad, 4/168/1646, dari Ali bin Abi Thalib. Dishahihkan Syaikh Al
Albani dalam Misykah Al Mashabih, 3/49/4839)

Imam Hasan Al Banna juga mengatakan dalam 10 wasiatnya, pada wasiat
no. 4: "Tinggalkanlah perdebatan dalam masalah dan kondisi, karena
perdebatan tidaklah mendatangkan kebaikan." (Risalatut Ta'alim wal
Usar, Hal. 39. Darun Nashr Liththiba'ah Al Islamiyah)

C. Tetap Menjaga Persatuan dan Soliditas

Tanpa adanya persatuan dan soliditas, maka kelemahan yang akan kita
dapatkan. Sayangnya kelemahan jamaah terjadi karena ulah kita sendiri.

"Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu
berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang
kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang
yang sabar." (QS. Al Anfal (8): 46)

Maka beranilah memulai untuk memahami, memaklumi, dan memaafkan
sesama ikhwah sebagai awal soliditas jamaah, berada di pihak mana pun
kita. Serta menghilangkan kebencian, dengki (hasad), tajassus,
memutuskan silaturrahim, cuek, memboikot (hajr), sesama elemen jamaah.

"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu
ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu kemudian apabila kamu
telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya."
(QS. Ali Imran (3): 159)

Dari Abu Hurairah Radhiallahu 'Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu
'Alaihi wa Sallam bersabda:

"Hati-hatilah dengan prasangka, karena prasangka adalah
sedusta-dustanya perkataan. Janganlah saling mendengarkan keburukan,
saling mencari kesalahan, saling mendengki , saling tidak peduli,
saling membenci, dan jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara." (HR.
Bukhari, 19/8/5604)

Hadits serupa sangat banyak, hanya saja berbeda sedikit
matan(redaksi) -nya . Ada yang wa laa tanaajasyu (jangan saling
memfitnah) (Bukhari, 19/11/5606), atau wa laa taqaatha'uu (jangan
saling memutuskan silaturahim) (Muslim, 12/415/4642) , atau wa laa
tanaafasuu (jangan saling bersaing/bermegah- megah) (Muslim,
12/421/4646) , ada juga tambahan, "tidak halal bagi seorang muslim
mendiamkan saudaranya leih tiga hari." (HR. At Tirmidzi, 7/180/1858,
dari jalur Anas, hasan shahih), dan yang semisalnya.

Syahidul Islam, Imam Hasan Al Banna Rahimahullah berkata:

"Ukhuwah adalah keterikatan hari dan ruh dengan ikatan aqidah. Ikatan
aqidah adalah ikatan yang paling kuat dan paling mulia. Ukhuwah adalah
saudara keimanan, dan perpecahan adalah saudara kekufuran; kekuatan
yang pertama adalah kekuatan persatuan, tak ada persatuan tanpa rasa
cinta, dan sekecil-kecilnya cinta adalah lapang dada, dan yang paling
tinggi adalah itsar (mendahulukan kepentingan saudara)." Barangsiapa
Yang menjaga serta memelihara dirinya daripada dipengaruhi oleh tabiat
bakhilnya, maka merekalah orang-orang yang berjaya.(QS. Al Hasyr: 9)

Al Akh yang benar akan melihat saudara-saudaranya yang lain lebih
utama dari dirinya sendiri, karena ia jika tidak bersama mereka, tidak
akan dapat bersama yang lain. Sementara mereka jika tidak bersama
dirinya, akan bisa bersama orang lain. Dan sesungguhnya Srigala hanya
akan memangsa kambing yang sendirian. Seorang muslim dengan muslim
lainnya laksana satu bangunan, saling menguatkan satu sama lain.

Dan orang-orang beriman baik laki-laki dan perempuan, satu sama lain
saling tolong menolong di antara mereka. (QS. At Taubah (9): 71).
Begitulah seharus kita." (Al Imam Asy Syahid Hasan al Banna, Majmu'ah
ar Rasail, hal. 313. Al Maktabah At Taufiqiyah)

Wallahu A'lam

II. Taujih Nabawi Untuk Qiyadah

Maksud 'qiyadah' di sini tentu tidak terkait dengan person tertentu,
nama tertentu, jabatan tertentu, tetapi siapa saja yang merasa dirinya
bagian dari jajaran petinggi jamaah, yang ma'ruf disebut qiyadah oleh
seluruh elemen jamaah. Karena itu, tak ada yang perlu dirisaukan,
merasa diserang atau ditelanjangi kehormatannya, sebab pada hakikatnya
nasihat ini adalah untuk semuanya. Justru, ini merupakan bentuk
penghormatan dan kecintaan kepada mereka, setelah sekian lamanya
mereka dijadikan bahan olok-olokan, ejekan, dan bahkan laknat dari
orang yang tidak jelas (saya katakan 'orang tidak jelas', sebab kader
sejati yang masih memegang akhlak Islam tidak akan membiarkan lisan
dan tulisannya keluar kata-kata kotor, betapa pun emosinya), dan
akhirnya ditanggapi dengan cara yang sama pula oleh masing-masing
pendukung.

Ini memprihatinkan, sebab aksi dan reaksi yang terjadi tidak berhenti
pada ejekan, olok-olok, dan laknat, tetapi sudah pada sikap yang
berlebihan dan tidak terukur. Satu pihak menuduh yang lain kemasukan
intelijen, sementara yang lain menuduh balik sebagai agen zionis, yang
atas memblacklist, yang bawah mengancam keluar jamaah, dan seterusnya.
Hingga akhirnya, syaitan pun kegirangan, dan musuh-musuh dakwah pun
bertepuk tangan dan tertawa. Maka, pandanglah ini sebagai nasihat
ilallah (lebih tepatnya sharing) dari saudara sesama muslim, tidak
lebih dan tidak kurang, walau bisa jadi tidak ada hal baru yang kami
sampaikan, hanyalah nilai normatif yang sama-sama telah kita mengerti.

Sesuai dengan judul, maka taujih ini juga kami ambil
dari hadits-hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berkenaan
dengan para pemimpin dan kepemimpinan. Mudah-mudahan hadits-hadits ini
bisa dijadikan renungan kita bersama, khususnya para qiyadah agar bisa
menjadi qiyadah mukhlishah, dan membimbing kami menjadi jundiyah
muthi'ah.

A. Kabar Gembira Untuk Qiyadah yang Adil

Banyak kabar gembira (busyra) dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa
Sallam untuk pemimpin yang adil. Kami akan sampaika beberapa, dari Abu
Hurairah Radhiallahu 'Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa
Sallam bersabda:

"Ada tujuh golongan manusia yang akan Allah naungi
dengan naunganNya, di hari tidak ada naungan selain naunganNya:
(pertama) pemimpin yang adil .... dst." (HR. Bukhari, 3/51/620.
Muslim, 5/229/1712. Ahmad, 19/331/9288)

Ini adalah kabar gembira buat para qiyadah, berupa
janji dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam yang tidak mungkin
dusta. Bergembiralah bahwa mereka akan menjadi manusia pertama yang
akan mendapatkan Zhillah (naungan/perlinduga n) dari Allah Ta'ala,
sebelum enam golongan lainnya, dengan syarat berlaku adil.

Al Qadhi 'Iyadh mengatakan maksud Zhillah di sini
adalah 'Arsy (singgasana) sebagaimana yang diterangkan dalam sebuah
hadits. Fungsinya adalah untuk melindungi pada hari kiamat nanti
ketika manusia berdiri di hadapan Rabb semesta alam, didekatkan kepada
mereka matahari hingga terasalah panasnya. Maka tidak ada makna lain
saat itu bagi Zhillah melainkan 'Arsy. Ibnu Dinar mengatakan, maksud
Zhillah di sini adalah kemuliaan, perisai, dan pencegah dari hal-hal
yang keji saat itu. (Imam An Nawawi, Syarh Shahih Muslim, 3/481)

Bukan hanya itu, memiliki kedudukan yang mulia dan
paling dekat dengan Allah Ta'ala. Dari Abu Said Al Khudri Radhiallahu
'Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

"Sesungguhnya manusia yang paling Allah cintai dan
paling dekat kedudukannya dengan Allah pada hari kiamat adalah emimpin
yang adil. Sedangkan manusia yang paling Allah murkai dan paling jauh
kedudukannya dengan Allah adalah pemimpin yang zalim." (HR. At
Tirmidzi, 5/164/1250. At Tirmidzi mengatakan: hasan gharib, kami tidak
mengetahuinya kecuali dari jalur ini. Dalam sanadnya terdapat Ibnu
Sa'ad bin Junadah Al 'Aufi Al Jadali Abul Hasan Al Kufi, yang
didhaifkan oleh Ats Tsauri, Husyaim, dan Ibnu 'Adi. Sementara At
tirmidzi menyimpulkan untuk menghasankannya. Disebutkan dalam At
Taqrib: jujur tapi banyak melakukan kesalahan, dan dia seorang syiah
dan mudallis (suka memanipulasi sanad). Dalam Al Mizan disebutkan
bahwa dia ini seorang yang hidup pada generasi tabi'in yang terkenal
kedhaifannya. Abu Hatim mengatakan haditsnya di tulis tetapi dhaif.
Yahya bin Ma'in mengatakan dia itu shalih (baik), sementara Ahmad
mendhaifkannya. Sementara An Nasa'i dan jamaah mengatakan dia ini
dhaif. Selesai. Lihat Tuhfah Al Ahwadzi, 3/450)

Dalam riwayat lain, dari Abu Hurairah Radhaillahu
'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

"Ada tiga orang yang doanya tidak ditolak; yakni
pemimpin yang adil, orang yang berpuasa sampai dia berbuka, dan doa
orang yang dizalimi." (HR. At Tirmidzi, 9/68/2449. Ibnu Majah,
5/294/1742. Ahmad, 16/241/7700. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, 3/345,
lihat juga Syu'abul Iman, 15/134/6837. Ath Thabarani, Al Mu'jam Al
Kabir, 19/368/896. Ibnu Hibban, 14/356/3497. Al Adzkar no. 534. An
Nawawi berkata: berkata At Tirmidzi: hasan)

Demikianlah berbagai keutamaan pemimpin yang adil;
mendapatkan perlindungan di akhirat, paling Allah cintai dan dekat
kedudukkannya dengan Allah Ta'ala, dan doanya tidak ditolak.

Lalu, apa maksud pemimpin yang adil? Adil yang
bagaimana? Al Qadhi 'Iyadh juga mengatakan, mereka adalah para
penguasa dan pemerintah, yang memperhatikan maslahat kaum muslimin,
yang dengan keadilannya banyak memberikan manfaat dan maslahat bagi
orang banyak. (Ibid). Sementara, Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan,
tafsir paling baik tentang makna pemimpin adil adalah pemimpin yang
mengikuti perintah Allah Ta'ala dengan meletakkan segala sesuatu pada
tempatnya, tanpa melampaui batas dan meremehkan, dan orang yang lebih
mementingkan kepentingan yang lebih luas. (Fathul Bari, 2/485)

Jadi, paling tidak ada dua perilaku pemimpin yang
adil, pertama, mengikuti perintah Allah Ta'ala, kedua, meletakkan
sesuatu pada tempatnya. Oleh karena itu, mafhum mukhalafah (makna
implisit)nya adalah jika pemimpin sudah tidak peduli dengan perintah
Allah Ta'ala, baik berupa Al Wala wal Bara yang telah menipis bahkan
luntur sama sekali, halal haram tidak peduli, juga melupakan perintah
dan larangan, dan lain-lain, maka tanggal-lah predikat sebagai
pemimpin yang adil bagi mereka.

Begitu pula ketika salah menempatkan permasalahan dan
salah menempatkan manusia. Seperti menuduh khianat orang yang amanah,
dan memberikan amanah kepada para pengkhianat, mempercayai para
pendusta, dan mendustakan orang yang jujur dan setia. Maka, semakin
jauh mereka dari nilai-nilai keadilan.

Dari Abu Hurairah Radhiallahu 'Anhu, bahwa Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

"Akan datang kepada manusia tahun-tahun penuh
kedustaan, saat itu pendusta dipercaya, sedangkan orang jujur justru
tidak dipercaya. Para pengkhianat diberikan amanah, dan orang yang
amanah (terpercaya) justru dianggap pengkhianat. Saat itu ruwaibidhah
pun angkat bicara." Para sahabat bertanya: "Apakah ruwaibidhah itu?"
Beliau menjawab: "Orang yang bodoh tapi berlagak membicarakan urusan
orang banyak." (HR. Ibnu Majah, 12/44/4026. Ahmad, 16/112/7571. Al
Hakim, Al Mustadarak, 19/331/8571, katanya shahih tapi tidak
diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim. Syaikh Al Albani juga menshahihkan
dalam Silsilah Ash Shahihah, no. 1887. Ath Thabarani, Al Mu'jam Al
Kabir, 12/437/14550. Juga dalam Al Ausath-nya, 7/356/3386, dari jalur
Anas bin Malik. Dalam riwayat Ath Thabarani ini, terdapat Ibnu Ishaq,
dia seorang mudallis (suka menggelapkan sanad), dan juga Ibnu Luhai'ah
serang yang layyin (lemah), lihat Majma' az Zawaid, 7/284, tetapi Al
Hafzih Ibnu Hajar menyatakan hadits ini jayyid (baik), lihat Fathul
Bari, 20/131)

B. Sumur Hab Hab Bagi Para Diktator

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Salam bersabda:

"Sesungguhnya di neraka jahanam ada sebuah lembah, di
lembah tersebut terdapat sumur yang dinamakan Hab Hab, yang Allah
Ta'ala tetapkan sebagai tempat tinggal bagi setiap diktator." (HR. Ath
Thabarani, Al Mu'jam Al Ausath, 8/193/3683. Al Hakim, Al Mustadrak
'alash Shaihihain, 20/179/8918. Imam Al Haitsami mengatakan sanadnya
hasan. Majma'uz Zawaid, 5/197. Ini lafaz milik Al Hakim)

Hadits yang mulia ini memberikan kabar, betapa
selamatnya pemimpin yang mau mendengar dan memperhatikan keluh kesah
umatnya (baca: kader), mau menerima masukan, bahkan siap dikoreksi dan
kritik, tidak semena-mena, dan tidak menjadikan segala titahnya
adalah 'firman Tuhan' dan 'hadits nabi' yang suci. Sehingga umatnya
dibuat tidak kuasa bertanya 'kenapa', apalagi dengan lantang berkata
'tidak'.

Sikap ini sangat penting agar tidak ada kabut
komunikasi, hambatan informasi, hingga akhirnya umat menyimpulkan
sendiri apa yang terjadi di atas, bukan dari apa yang mereka ketahui
secara valid (ilmu yaqin), tetapi dari apa yang mereka rasa dan
kira-kira (zhan). Maka, qiyadah yang bijak jangan justru memberikan
syak wasangka balik, berupa anggapan terhadap umatnya seperti 'adamu
tsiqah (hilangnya kepercayaan) , makar, konspirasi, dan menggembosi
jamaah. Melainkan seharusnya bertanya, 'Ada apa dengan saya? jika saya
salah, di mana letak kesalahannya, lalu bagaimana jalan keluarnya?'

Dalam lafaz Ath Thabarani disebutkan dengan lafaz
Jabbarun 'anid, diktator yang keras kepala. Sulit menerima masukkan,
cenderung memandang segala masukan, koreksi, dan kritikan adalah
ancaman.

Ada hadits lain yang esensinya sama dengan di atas,
dari Mu'awiyah Radhiallahu 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa
Sallam bersabda:

"Akan datang para pemimpin setelahku yang ucapan
mereka tidak bisa dibantah, mereka akan masuk ke neraka
berdesa-desakkan seperti kera yang berkerubungan. " (HR. Ath Thabarani,
Al Mu'jam Al Kabir, 14/322. Abu Ya'la, 15/188/7217. Alauddin Muttaqi
Al Hindi, Kanzul 'Umal, 6/69/14884. Al Haitsami mengatakan rijalnya
tsiqat. Majma' az Zawaid, 5/236. Syaikh Al Albani menshahihkan, Shahih
wa Dhaiful Jami' Ash Shaghir, 13/300/5928)

Mari sejenak kita bercermin kepada sikap Rasulullah Shallallahu
'Alaihi wa Sallam ketika permulaan perang Badar. Saat itu beliau
hendak membuat Base Camp, di salah satu sumur di padang Badar. Namun,
seorang sahabat yang mulia, Hubab bin Al Mundzir bertanya: "Ya
Rasulullah, seandainya Allah telah mewahyukan kepadamu, maka kita
akan mengikutimu dan tak akan maju atau mundur setapak pun. Tetapi,
apakah ini sekedar pendapat atau strategi perang?"

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menjawab:

"Ini cuma pendapat dan strategi saja."

Lalu Hubab bin Al Mundzir memberikan masukan:
"Rasulullah, " katanya, "Nampaknya tidak tepat kita berhenti di sini.
Sebaiknya kita mendekat ke mata air terdekat dari mereka, lalu
sumur-sumur yang kering itu kita timbun. Kemudian kita membuat kolam
dan kita isi sepenuhnya. Barulah kita hadapi mereka berperang.
Sehingga, kita mendapatkan air minum, mereka tidak , sampai Allah
tetapkan hasilnya antara kita dengan mereka." Maka Rasulullah
memandang baik masukan ini, lalu beliau melakukannya. (HR. Imam Al
Baihaqi, Dalailun Nubuwah, 3/4/874. 'Uyunul Atsar, Hal. 332. Imam
Ibnu Katsir, As Sirah An Nabawiyah, 2/402. Imam Ibnu Hazm, Jawami' As
Sirah, Hal. 112. Syaikh Ash Shalih Asy Syami, Subulul Huda war Rasyad,
4/30. Ar Raudhul Unuf, 3/62. Sirah Ibnu Hisyam, 1/620. Imam Al Waqidi,
Al Maghazi, Hal. 52. Imam Ibnul Atsir, Usudul Ghabah, 1/231. Imam Ath
Thabari, Tarikhul Rusul wal Muluk, 1/444)

Di mata Rasulullah yang ma'shum, masukan dari Hubab
bin Al Mundzir ini, sama sekali tidak menodai kenabiannya, tidak pula
merendahkan risalah yang dibawanya, apa lagi menggembosi
rencana-rencana yang sudah ada. Justru, itu semakin memperkuat posisi,
membuatnya dicintai oleh para sahabat dan umatnya, dan membuat dirinya
tercatat sebagai manusia terbaik sepanjang sejarah.

Bukanlah aib, jika para qiyadah mau seperti Abu
Bakar Ash Shiddqiq Radhiallahu 'Anhu, seorang Khalifah mulia, ketika
diangkat menjadi pemimpin, dia berkata:

"Wahai manusia, sesungguhnya saya diangkat untuk
menjadi pemimpin kalian, padahal saya bukan yang terbaik di banding
kalian. Jika aku benar maka bantulah, jika aku salah maka koreksilah.
Sesungguhnya kejujuran adalah amanah, dan kedustaan adalah khianat.
Orang lemah pada kalian adalah kuat bagiku hingga aku memberikan
kepadanya haknya, Insya Allah. Orang kuat di antara kalian adalah
lemah bagiku, hingga saya mengambil darinya hak orang lain, Insya
Allah. Tidaklah sebuah kaum meninggalkan jihad melainkan Allah Ta'ala
akan berikan mereka kehinaan. Tidaklah diikutinya kekejian yang ada
pada suatu kaum sedikit pun, melainkan Allah akan menurunkan musibah
secara merata. Taatilah aku selama aku masih taat kepada Allah dan
RasuNya. Jika aku bermaksiat kepada Allah dan RasulNya maka jangan
kalian taati aku, dan dirikanlah shalat kalian, semoga Allah merahmati
kalian." (Imam As Suyuthi, Tarikhul Khulafa', Hal. 27. Ibnu Katsir,
Sirah An Nabawiyah, 4/493, katanya: sanadnya shahih. Ar Raudhul Unuf,
4/450. Sirah Ibnu Hisyam, 2/661. Mukhtashar Sirah Ar Rasul, Hal. 379.
Ibnu Khalikan, Wafayat Al A'yan, 3/66. Imam Ath Thabari, Tarikhul
Rusul wal Muluk, 2/120)

Bukan pula cela seandainya mereka mau meniru sikap
para Imam berikut ini:

Imam Mujahid Radhiallahu 'Anhu berkata:

"Tidaklah seorang pun melainkan bisa diterima atau ditolak
pendapatnya, kecuali Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam ( yang
wajib diterima /tidak boleh ditolak)." (Imam Abu Nu'aim, Hilyatul
Auliya', Juz. 2, Hal. 31)

Imam Malik Rahimahullah berkata:

"Sesungguhnya aku hanyalah manusia biasa, bisa salah dan bisa benar,
maka lihatlah pendapatku, apa-apa yang sesuai dengan Al Quran dan As
Sunnah maka ambillah, dan setiap yang tidak sesuai maka
tinggalkanlah. " (Imam Al Mizzi, Tahdzibul Kamal, Juz. 27, Hal. 120)

Imam Hasan Al Banna Rahimahullah berkata:

"Setiap manusia bisa diambil atau ditinggalkan perkataan mereka,
begitu pula apa-apa yang datang dari para salafus shalih sebelum kita
yang sesuai dengan Al Qur'an dan As Sunnah, kecuali hanya Rasulullah
Shalallahu 'Alaihi wa Sallam (yang perkatannya wajib diterima tidak
boleh ditolak, pen), dan jika tidak sesuai, maka Al Quran dan As
Sunnah lebih utama untuk diikuti. Tetapi kita tidak melempar tuduhan
dan celaan secara pribadi kepada orang yang berbeda, kita serahkan
mereka sesuai niatnya dan mereka telah berlalu dengan amal berbuatan
mereka." (Al Imam Asy Syahid Hasan Al Banna, Majmu'ah Ar Rasail,
Hal.306. Maktabah At Taufiqiyah, Kairo. Tanpa tahun)

Para pemimpin seperti inilah yang akan mendapat cinta,
hormat yang tinggi, dan penghargaan yang mahal, dari umatnya (baca:
kader), serta kewibawaan yang disegani. Tentunya, jurang Hab Hab pun
tidak rela menerima kehadiran mereka. Wallahu A'lam

C. Tidak Diterima Shalat Seorang Pemimpin yang di Benci Kaumnya

Hadits seperti ini ada beberapa jalur yang bisa dipertanggungjawabk an
(valid), dengan redaksi yang agak berbeda. Di antaranya, dari Ibnu
Abbas Radhiallahu 'Anhuma, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
bersabda:

"Ada tiga manusia yang Shalat mereka tidaklah naik melebihi kepala
mereka walau sejengkal: yakni seorang yang mengimami sebuah kaum
tetapi kaum itu membencinya, seorang isteri yang tidur sementara
suaminya sedang marah padanya, dan dua orang bersaudara yang saling
memutuskan silaturahim. " (HR. Ibnu Majah, 2/338/961, Imam Muhammad
bin Abdil Hadi As Sindi mengatakan sanadnya shahih dan semua rijalnya
tsiqat (kredibel), Hasyiyah As Sindi 'ala Ibni Majah, 2/338. Syaikh Al
Albani mengatakan hasan. Misykah Al Mashabih, 1/249/1128. Syaikh
Ala'uddin bin Qalij bin Abdillah Al Hanafi mengatakan sanad hadits ini
laa ba'sa bihi (tidak apa-apa). Abu Hatim berkata: Aku belum melihat
ada orang yang mengingkarinya. Dalam sanadnya terdapat 'Ubaidah,
berkata Ibnu Namir: dia tidak apa-apa. Ad Daruquthni berkata:
baik-baik saja mengambil 'ibrah darinya. Abu Hatim mengatakan:
menurutku haditsnya tidak apa-apa. Sanadnya juga terdapat Al Qasim.
Menurut Al 'Ijili dan lainnya dia tsiqah (kredibel), Lihat dalam Syarh
Sunan Ibni Majah, no. 172, karya Syaikh Ala'uddin Al Hanafi. Al
Maktabah Al Misykat)

Imam At Tirmidzi juga meriwayatkan dari jalur lain, yakni Anas bin
Malik Radhiallahu 'Anhu, dengan redaksi sedikit berbeda:

"Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam melaknat tiga
golongan manusia, yakni seorang yang mengimami sebuah kaum tetapi kaum
itu membencinya, seorang isteri yang tidur sementara suaminya sedang
marah padanya, dan seorang yang mendengarkan Hayya 'alal Falah tetapi
dia tidak menjawabnya. " (HR. At Tirmidzi, 2/97/326. Katanya: tidak
shahih, karena hadits ini mursal (tidak melalui sahabat nabi), dan
dalam sanadnya terdapat Muhammad bin Al Qasim. Imam Ahmad
mendhaifkannya dan dia bukan seorang yang terjaga hafalannya. Sehingga
Syaikh Al Albani menyatakan dhaif jiddan (lemah sekali), lihat Shahih
wa Dhaif Sunan At Tirmidzi, 1/358. Namun, Syaikh Muhamamd bin Thahir
bin Ali Al Hindi mengatakan, hadits ini memiliki sejumlah syawahid
(penguat)nya. Muhammad bin Al Qasim tidaklah mengapa, dan dinilai
tsiqah oleh Imam Yahya bin Ma'in. Tadzkirah Al Maudhu'at, Hal. 40)

Lalu, jalur Abu Umamah Radhiallahu 'Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu
'Alaihi wa Sallam bersabda:

"Tiga golongan manusia yang shalatnya tidak sampai telinga
mereka, yakni: budak yang kabur sampai dia kembali, isteri yang tidur
sementara suaminya marah kepadanya, dan pemimpin sebuah kaum dan kaum
itu membencinya. " (HR. At Tirmidzi, 2/99/328. At Tirmidzi berkata:
hasan gharib. Syaikh Al Albani menghasankan dalam beberapa
kitabnya, Misykah Al Mashabih, 1/247/1122. Shahih At Targhib wat
Tarhib, 1/117/487, Shahih wa Dhaif Al Jami' Ash Shaghir, 12/315/5368)

Hadits ini menunjukkan, menurut para ulama,
dimakruhkannya seorang pemimpin menjadi imam, dan dia dibenci oleh
kaumnya. Tetapi jika pemimpin tersebut bukan orang zhalim, maka
kaumnyalah yang berdosa. Sementara Ahmad dan Ishaq mengatakan
seandainya yang membenci pemimpin tersebut hanya satu, dua, atau tiga
orang maka tidak mengapa pemimpin tersebut shalat bersama mereka,
kecuali jika yang membenci lebih banyak. (Sunan At Tirmidzi, 2/97/326)

Ibnu Al Malak mengatakan bahwa penyebab kebenciannya
pun adalah masalah agama, seperti bid'ah, kefasikan, dan kebodohan
yang dibuat oleh pemimpin tersebut. Tetapi, jika kebencian disebabkan
perkara dunia di antara mereka, maka itu bukan termasuk yang dimaksud
hadits ini. (Syaikh Abdurrahman Al Mubarakfuri, Tuhfah Al Ahwadzi,
1/387)

Maka hendaknya kita semua berhai-hati, khususnya para
pemimpin. Jika mereka melakukan aktifitas atau keputusan yang
membuatnya jatuh pada bid'ah, kefasikan, dan kebodohannya, lalu hal
itu membuat dibencinya mereka oleh kaumnya, maka ambil-lah peringatan
dari hadits ini.

Dalam konteks jamaah ini, hati-hatilah dengan
sikap-sikap yang dianggap meremehkan nilai-nilai syara' dengan alasan
"memperbesar suara," dan "memperluas dukungan." Hingga berbasa-basi
dengan pengusung kefasikan, liberalisme, dan komunitas yang dahulunya
dianggap musuh dakwah, atau berbasa-basi dengan nilai yang dahulunya
kita anggap sesat dan menyesatkan. Lalu akhirnya, terjatuh dalam
wilayah bid'ah, fasik, dan kebodohan tadi. Nilai luhur yang ada pada
syariat, itulah panglima, bukan politik yang menjadi panglima. Sebab,
masih banyak cara halal untuk merebut hati manusia dan memperluas
jaringan. Bukan cara kontroversi, abu-abu, dan –seperti- tidak wara'.
Alih-alih merebut hati manusia dan memperluas jaringan, justru
dianggap cari muka dan ditinggalkan pemilih tradisionalnya. Mengejar
yang ada pada orang lain, namun tidak menjaga yang sudah ada,
akhirnya, yang lain gagal diraih, yang sudah ada hengkang kecewa.
Bahkan yang hengkang ini, bukan sembarang 'manusia' melainkan kader
terbina seusia jamaah ini, atau kurang sedikit. Betapa mahalnya
mereka, betapa sulitnya mencari pengganti mereka. Sekali pun ada
pengganti dengan kader-kader baru, berapa waktu yang dibutuhkan untuk
mengejar kualitas pendahulunya? Dan .. apakah sama antara para sahabat
assabiqunal awwalun dengan yang terbina pasca fathul makkah? Apakah
sama antara yang menyaksikan hudaibiyah dengan pengikut haji wada'?

Penyesalan memang selalu datang kemudian.

D. Di antara Sifat Qiyadah Terbaik

Dari 'Auf bin Malik Radhiallahu 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
wa Sallam bersabda:

"Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian
cintai dan mereka pun mencintai kalian, mereka mendoakan kalian, dan
kalian juga mendoakan mereka. Seburuk-buruknya pemimpin kalian adalah
yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian, kalian melaknat
mereka, dan mereka pun melaknat kalian." (HR. Muslim, 9/403/3447.
Ahmad, 49/11/22856. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, 8/158. Ath
Thabarani, Al Mu'jam Al Kabir, 12/431. Ad Darimi, 9/19/2853. Ibnu
Hibban, 19/182/4672)

Hadits shahih ini memberikan kita gambaran, bahwa
prestasi pemimpin tergantung dari timbal balik hubungan mereka dengan
rakyatnya (baca: kader). Pemimpin menjadi terbaik, ketika mereka
mencintai dan mendoakan kebaikan kepada rakyatnya, dan rakyatnya pun
melakukan hal serupa untuk pemimpinnya. Pemimpin menjadi terburuk,
ketika mereka membenci dan melaknat rakyatnya, dan rakyatnya pun
melakukan hal serupa. Sayangnya, selintas lalu nampaknya gambaran
yang kedua, bisa jadi lebih terlihat yakni saling ejek, olok-olok,
menebar curiga, dan caracter assasination, dibanding gambaran yang
pertama; saling mencintai dan mendoakan. Namun, gambaran ini kami
yakin tidak mewakili keadaan sebenarnya dan keadaan pada umumnya.
Seperti yang kami katakan sebelumnya, ini hanyalah guncangan
segelintir wilayah dan internet saja. Sehingga tidak ada alasan untuk
pesimis dan putus asa, masih banyak yang mencintai jamaah ini, betapa
pun adanya kekurangan di sana sini. Semua harus optismis, karena kami
yakin bahwa masing-masing menginginkan yang terbaik walau dengan cara
yang berbeda. Tidak ada perbedaan manhaj dan aqidah, yang ada hanya
perbedaan uslub dan strategi saja. Jika ternyata, ada yang salah dalam
ijtihad politiknya, semoga Allah Ta'ala memberikan satu pahala, dan
jika benar maka dua pahala.

E. Pemimpin Zalim, Pendusta, dan Para Pengikutnya

Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu 'Anhu, dia berkata:

Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berkata kepada Ka'ab
bin 'Ujrah, " semoga Allah melindungimu dari kepemimpinan orang
bodoh." Dia bertanya: "Apa maksud kepemimpinan orang bodoh itu?"
Beliau bersabda: "Yaitu para pemimpin setelahku yang menuntun tidak
mengikuti petunjukku, tidak berjalan di atas sunahku, barangsiapa yang
mempercayai kedustaan mereka dan menolong kezaliman mereka, maka
mereka bukan golonganku, dan mereka tidak akan mendatangi telagaku.
Dan barangsiapa yang tidak memercayai kedustaan mereka dan tidak
menolong kezaliman mereka, maka mereka akan bersamaku dan akan
mendatangi telagaku." (HR. Ahmad, 28/468/13919. Al Baihaqi, Dalail An
Nubuwwah, 7/472/2893, juga Syu'abul Iman, 19/392/9081. Ibnu Hibban,
19/34/4597. Imam Al Haitsami mengatakan rijalnya shahih, Majma' az
Zawaid, 5/247. Imam Al Hakim, Al Mustadarak 'alash Shahihain,
19/177/8415, katanya shahih dan tidak diriwayatkan Bukhari-Muslim)

Dalam hadits ini, ada beberapa pelajaran dari Rasulullah Shallallahu
'Alaihi wa Sallam, beliau menyebutkan bahwa kepemimpinan yang bodoh
adalah, pertama, memberikan petunjuk bukan dengan petunjuk Rasulullah
Shallallahu 'Alahi wa Sallam, kedua, tidak mengikuti sunah dalam
memimpin.

Hadits ini juga menunjukkan bahwa kepemimpinan bukan di atas huda
dan sunah nabi adalah kedustaan. Namun demikian, pemimpin seperti ini
juga memiliki pendukung dan penolong setia, dan yang mengikuti dan
menolong kezaliman mereka, Rasulullah menyebut mereka sebagai bukan
umatnya dan tidak akan mendatangi telaganya. Sedangkan yang tidak
mendukung dan menolong mereka, itulah yang termasuk umat Rasulullah
dan akan mendatangi telaga Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.

Demikianlah taujih nabawi untuk kader dan qiyadah, semoga bermanfaat
dan menjadi renungan bersama. Wallahu A'lam
Ya Allah Ya Rabb lindungilah kami … sebagaimana Engkau telah lindungi
para pejuang sebelum ini … jadikanlah perkumpulan ini perkumpulan yang
Kau rahmati dan Kau berkahi … Tiada Daya dan Kekuatan melainkan
dariMu, cukuplah Kau tempat kami bertawakkal dan meminta pertolongan
dari segala ancaman yang nampak atau tersembunyi, Engkaulah
sebaik-baiknya pemimpin dan penolong, dan tempat mengadu, ketika tidak
tersisa lagi tempat mengadu ..Shalawat dan Salam semoga selalu
tercurah kepada baginda Rasulullah dan para sahabatnya, wa akhiru
da'wana 'anil hamdulillahi rabbil 'alamin …

Comments

Popular posts from this blog

PRINSIP DAN TEKNIK IDENTIFIKASI DAMPAK LINGKUNGAN

biotek yoghurt

Mahalnya Kebersihan