Golput, Demokrasi, dan Kesejahteraan

Golput, Demokrasi, dan Kesejahteraan

*[Al-Islam 441] *Perdebatan di seputar fatwa haramnya golput oleh MUI
beberapa waktu lalu tampaknya masih belum mereda. Pasalnya, MUI sendiri—juga
mereka yang berkepentingan terhadap suksesnya Pemilu 2009—seperti melupakan
alasan utama di balik kemungkinan maraknya golput pada Pemilu 2009 nanti.

Di luar alasan teknis Pemilu—seperti tidak terdatanya sejumlah calon
pemilih—setidaknya ada dua alasan mengapa sebagian masyarakat memilih
golput. Pertama: alasan ekonomi. Intinya, sebagian kalangan yang memilih
golput sudah semakin sadar, bahwa Pemilu, termasuk Pilkada, tidak
menjanjikan kesejahteraan apapun bagi rakyat. Bagi mereka, selama ini
terpilihnya para wakil rakyat, kepala daerah, atau presiden dan wakil
presiden yang serba baru tidak membawa perubahaan apa-apa yang bisa sedikit
saja meningkatkan kesejahteraan rakyat. Padahal, sebagaimana dikatakan
pengamat politik J Kristiadi, "Harapan masyarakat sebenarnya sederhana.
Begitu mereka nyoblos atau mencontreng, kesejahteraan mereka bisa menjadi
lebih baik dengan pemerintahan terpilih. Kenyataannya, ada ruang yang sangat
luas dan terkadang manipulatif (menipu, red.) antara Pemilu dan
kesejahteraan itu." *(Kompas, 2/2/2009). *

*Kedua:* alasan ideologis. Bagi calon pemilih yang golput dengan alasan ini,
Pemilu (baca: demokrasi) tidak akan pernah menjanjikan perubahan apapun.
Pasalnya, demokrasi hanya semakin mengokohkan sekularisme. Padahal
sekularismelah yang selama ini menjadi biang dari segala krisis yang
terjadi. Sekularisme sendiri adalah sebuah keyakinan dasar (akidah) yang
menyingkirkan peran agama dari kehidupan. Dalam konteks Indonesia yang
mayoritas Muslim, sekularisme telah nyata menjauhkan syariah Islam untuk
mengatur segala aspek kehidupan masyarakat (ekonomi, politik, pendidikan,
peradilan, sosial, dll).

Padahal mayoritas rakyat Indonesia yang Muslim sesungguhnya menyetujui
penerapan syariah Islam itu di negeri ini. Hal ini sudah dibuktikan oleh
berbagai survei yang dilakukan oleh sejumlah lembaga survei seperti PPIM UIN
Syarif Hidayatullah (2001), Majalah Tempo (2002). Roy Morgan Research
(2008), SEM Institute (2008), LSM Setara (2008), dll yang rata-rata
menunjukkan bahwa 70-80% masyarakat Indonesia setuju dengan penerapan
syariah Islam dalam negara (Lihat kembali: Al-Islam, Edisi 434/XII/08).
Dalam hal ini, pengamat politik Bima Arya mengatakan, adanya survey yang
menyebutkan mayoritas masyarakat di Indonesia mendukung syariah memang cukup
masuk akal. "Itu terjadi karena adanya kejenuhan dari masyarakat terhadap
sistem yang ada," ujarnya (Eramuslim, 19/12/08).

Pertanyaannya, jika mayoritas masyarakat saat ini pro-syariah, lalu mengapa
partai-partai Islam tetap kalah dari partai-partai sekular pada Pemilu 2004
lalu dan kemungkinan juga pada Pemilu 2009 nanti? Jawabannya, karena boleh
jadi mereka melihat tidak adanya satu partai Islam pun yang sungguh-sungguh
memperjuangkan penerapan syariah Islam di Indonesia. Barangkali, karena
itulah, di antara mereka yang pro syariah ini lebih memilih golput.

Walhasil, kenyataan inilah yang seharusnya dipahami oleh MUI terlebih
dulu—juga oleh para tokoh, ulama, politikus, ormas, dan terutama parpol
peserta Pemilu—yang menolak golput.
Lebih dari sekadar keinginan mayoritas umat Islam di atas, penegakkan
syariah Islam secara kâffah dalam negara tentu merupakan kewajiban dari
Allah SWT yang dibebankan kepada kaum Muslim. Kewajiban inilah yang
sesungguhnya lebih layak difatwakan oleh MUI dan tentu selaras dengan fatwa
MUI tahun 2005 yang telah memfatwakan haramnya sekularisme.
Demokrasi: Memiskinkan Rakyat

Kondisi masyarakat yang miskin alias tidak sejahtera jelas dialami oleh
sebagian rakyat Indonesia saat ini. Padahal semua orang tahu, Indonesia
adalah negeri yang kaya-raya. Seluruh jenis barang tambang nyaris ada di
Indonesia. Minyak bumi, gas, batubara, emas, tembaga dan beberapa yang lain
bahkan ada di negeri ini dengan kadar yang melimpah. Kekayaan laut Indonesia
berupa ikan dan hasil-hasil laut lainnya juga luar biasa. Indonesia pun
memiliki areal hutan tropis yang sangat luas. Dengan semua kekayaan alam
yang melimpah-ruah itu, rakyat Indonesia seharusnya makmur dan sejahtera,
dan tidak ada yang miskin.

Namun, akibat diterapkannya sistem ekonomi kapitalis sejak negara ini
merdeka, sebagian besar kekayaan alam yang melimpah-ruah itu hanya dinikmati
oleh segelintir orang, yang sebagian besarnya bahkan pihak asing. Contoh
kecil: Di Bumi Papua, kekayaan tambang emasnya setiap tahun menghasilkan
uang sebesar Rp 40 triliun. Sayangnya, kekayaan tersebut 90%-nya dinikmati
perusahaan asing (PT Freeport) yang sudah lebih dari 40 tahun menguasai
tambang ini. Wajarlah jika gaji seorang CEO PT Freeport Indonesia mencapai
sekitar Rp 432 miliar pertahun (=Rp 36 miliar perbulan atau rata-rata Rp 1.4
miliar perhari). Padahal, rakyat Papua sendiri hingga saat ini hanya
berpenghasilan Rp 2 juta saja pertahun (=Rp 167 ribu perbulan). Pemerintah
Indonesia pun hanya mendapatkan royalti dan pajak yang tak seberapa dari
penghasilan PT Freeport yang luar biasa itu *(Jatam.org, 30/3/07). *

Di Kaltim, batubara diproduksi sebanyak 52 juta meter kubik pertahun; emas
16.8 ton pertahun; perak 14 ton pertahun; gas alam 1.650 miliar meter kubik
pertahun (2005); minyak bumi 79.7 juta barel pertahun, dengan sisa cadangan
masih sekitar 1.3 miliar barel. Namun, dari sekitar 2.5 juta penduduk
Kaltim, sekitar 313.040 orang (12.4 persen) tergolong miskin.

Di Aceh, cadangan gasnya mencapai 17.1 tiliun kaki kubik. Hingga tahun 2002,
sudah 70 persen cadangan gas di wilayah ini dikuras oleh PT Arun LNG dengan
operator PT ExxonMobile Oil yang sudah berdiri sejak 1978, Namun, Aceh
menempati urutan ke-4 sebagai daerah termiskin di Indonesia. Jumlah penduduk
miskinnya sekitar 28.5 persen.

Itulah secuil fakta ironis di negeri ini, yang puluhan tahun menerapkan
demokrasi, bahkan terakhir disebut-sebut sebagai salah satu negara paling
demokratis di dunia.

Ironi ini sebetulnya mudah dipahami karena watak demokrasi di manapun,
termasuk di negeri ini, secara faktual selalu berpihak kepada para
kapitalis/pemilik modal. Demokrasi di negeri ini, misalnya, telah melahirkan
banyak UU dan peraturan yang lebih berpihak kepada konglomerat, termasuk
asing. Di antaranya adalah melalui kebijakan swastanisasi dan privatisasi.
Kebijakan ini dilegalkan oleh UU yang notabene produk DPR atau oleh
Peraturan Pemerintah yang dibuat oleh Presiden sebagai pemegang amanah
rakyat. UU dan peraturan tersebut memungkinkan pihak swasta terlibat dalam
pengelolaan (baca: penguasaan) kekayaan milik rakyat. Sejak tahun 60-an
Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan UU Penanaman Modal Dalam Negeri (UU
No. 6/1968). UU ini memberikan peluang kepada perusahaan swasta untuk
menguasai 49 persen saham di sektor-sektor milik publik, termasuk BUMN.
Tahun 90-an Pemerintah kemudian mengeluarkan PP No. 20/1994. Isinya antara
lain ketentuan bahwa investor asing boleh menguasai modal di sektor-sektor
milik publik, termasuk BUMN, hingga 95 persen.

Secara tidak langsung demokrasi juga sering menjadi pintu bagi masuknya
intervensi para pemilik modal, bahkan para kapitalis asing. Lahirnya UUD
amandemen 2002 adalah kran awal dari intervensi asing dalam
perundang-undangan. Ditengarai ada dana asing USD 4,4 miliar dari AS untuk
mendanai proyek di atas. Hasilnya, lahirlah UU Migas, UU Listrik dan UU
Sumber Daya Air (SDA) yang sarat dengan kepentingan asing. Dampaknya, tentu
saja adalah semakin leluasanya pihak asing untuk merampok sumber-sumber
kekayaan alam negeri ini, yang notabene milik rakyat. Dampak lanjutannya,
rakyat bakal semakin merana, karena hanya menjadi pihak yang selalu
dikorbankan; hanya menjadi 'tumbal' demokrasi, yang ironisnya selalu
mengatasnamakan rakyat.
Rakyat Sejahtera Hanya dengan Syariah Islam

Dengan sedikit paparan di atas, jelas bahwa jika memang semua kalangan
menghendaki terwujudnya kesejahteraan rakyat—sebagaimana yang juga sering
dijanjikan oleh para caleg dan elit parpol setiap kali kampanye menjelang
Pemilu—maka tidak ada cara lain kecuali seluruh komponen bangsa ini harus
berani mencampakkan sekularisme, yang menjadi dasar dari sistem politik
demokrasi dan sistem ekonomi kapitalis yang terbukti gagal mensejahterakan
rakyat. Selanjutnya, seluruh komponen bangsa ini harus segera menerapkan
syariah Islam secara kâffah dalam negara; baik dalam bidang politik,
ekonomi, pendidikan, peradilan, sosial, keamanan dan pertahanan, dll.
Yakinlah, hanya dalam negara yang menerapkan syariah secara kâffah-lah—yang
dalam sistem politik Islam disebut dengan sistem Khilafah—kesejahteraan
rakyat bakal benar-benar terwujud.

Bukti historis menunjukkan, sistem syariah telah mampu menciptakan
kesejahteraan bagi jutaan manusia pada setiap kurun Kekhilafahan Islam pada
masa lalu selama berabad-abad, tanpa pernah mengenal kata krisis.

Pada masa Kekhilafahan Umar bin al-Khaththab ra. (13-23 H/634-644 M),
misalnya, hanya dalam 10 tahun masa pemerintahannya, kesejahteraan rakyat
merata ke segenap penjuru negeri. Pada masanya, di Yaman, misalnya, Muadz
bin Jabal sampai kesulitan menemukan seorang miskin pun yang layak diberi
zakat (Al-Qaradhawi, 1995).

Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-102 H/818-820 M), hanya dalam 3
tahun umat Islam terus mengenangnya sebagai khalifah yang berhasil
menyejahterakan rakyat. Yahya bin Said, seorang petugas zakat masa itu,
berkata, "Saya pernah diutus Umar bin Abdul Aziz untuk memungut zakat ke
Afrika. Setelah memungutnya, saya bermaksud memberikannya kepada orang-orang
miskin. Namun, saya tidak menjumpai seorang miskin pun. Umar bin Abdul Aziz
telah menjadikan setiap individu rakyat pada waktu itu berkecukupan. " (Ibnu
Abdil Hakam, Sîrah 'Umar bin Abdul 'Azîz, hlm. 59).

Pada masanya pula, kemakmuran tidak hanya ada di Afrika, tetapi juga merata
di seluruh penjuru wilayah Khilafah Islam, seperti Irak dan Bashrah (Abu
Ubaid, Al-Amwâl, hlm. 256).
Mahabenar Allah Yang berfirman:

*Seandainya penduduk negeri beriman dan bertakwa, Kami pasti akan membukakan
pintu keberkahan bagi mereka dari langit dan bumi **(QS al-A'raf [7]: 96).*

*Wallâhu a'lam bi ash-shawâb

Comments

Popular posts from this blog

PRINSIP DAN TEKNIK IDENTIFIKASI DAMPAK LINGKUNGAN

biotek yoghurt

Mahalnya Kebersihan